Senin, 23 Januari 2012

Pertanyaan: Apa artinya menjadi satu daging dalam suatu pernikahan?


Jawaban:

Istilah “satu daging” berasal dari kisah Kejadian mengenai penciptaan Hawa. Kejadian 2:21-24 menggambarkan proses di mana Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk yang diambil dari sisi Adam ketika dia tidur. Adam mengakui bahwa Hawa adalah bagian dari dirinya—mereka secara kenyataan adalah “satu daging”. Istilah “satu daging” berarti bahwa sebagaimana tubuh kita adalah satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipotong-potong dan tetap utuh, demikianlah rencana Allah bagi hubungan pernikahan. Bukan lagi dua makhluk (dua individu), tetapi sekarang adalah satu kesatuan (pasangan yang menikah). Ada sejumlah aspek dari kesatuan yang baru ini.

Dalam hubungan dengan ikatan emosi, unit yang baru itu lebih penting dari semua hubungan yang sebelumnya dan yang akan datang. Beberapa pasangan yang sudah menikah terus menempatkan ikatan dengan orang tua lebih daripada dengan pasangan yang baru. Ini adalah resep untuk bencana dalam pernikahan dan bertolak belakang dengan rencana Allah yang semula tentang “meninggalkan dan bersatu.” Masalah yang sama bisa berkembang ketika pasangan mulai menarik diri lebih dekat kepada anak untuk memenuhi kebutuhan emosinya daripada kepada pasangannya.

Secara emosi, rohani, intelek, keuangan, dan dalam setiap cara yang apapun, pasangan menjadi satu. Bahkan sebagaimana satu bagian tubuh mempedulikan bagian-bagian tubuh yang lain (lambung mencerna makanan untuk tubuh, otak memberi tubuh petunjuk untuk kebaikan dari seluruh tubuh, tangan bekerja demi tubuh, dll), demikianlah masing-masing pasangan dalam pernikahan mempedulikan yang lainnya. Setiap pasangan tidak lagi melihat uang sebagai uang “saya”; tetapi lebih sebagai uang “kami”. Efesus 5:22-33 dan Amsal 31:10-31 masing-masing menerapkan “kesatuan” ini kepada peranan suami dan kepada istri.

Secara fisik, mereka menjadi satu daging, dan hasil dari satu daging itu diwujudkan dalam anak-anak yang dihasilkan oleh kesatuan ini; anak-anak ini sekarang memiliki suatu bangunan genetik yang khusus, yang unik untuk kesatuan mereka. Bahkan dalam aspek seksual dari hubungan mereka, suami dan istri tidak menganggap tubuh mereka sebagai milik mereka sendiri tetapi kepunyaan pasangan mereka (1 Korintus 7:3-5). Juga mereka tidak berpusat pada kesenangan mereka sendiri tetapi lebih memberi kesenangan kepada pasangan mereka.

Kesatuan ini dan keinginan untuk menguntungkan satu sama lain tidaklah otomatis, khususnya setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia, dalam Kejadian 2:24, diberitahukan untuk “bersatu” dengan istrinya. Kata ini mengandung dua pemikiran. Kesatu adalah “ditempelkan” kepada istrinya, suatu gambaran dari betapa eratnya ikatan pernikahan itu. Aspek yang lain adalah “mengejar” istri. “Mengejar” ini adalah melampaui masa pacaran dan masuk kepada pernikahan, dan terus berlanjut sepanjang pernikahan. Kecenderungan daging adalah “melakukan apa yang terasa baik bagiku” bukannya memikirkan apa yang akan menguntungkan pasangan. Dan sikap berpusat kepada diri sendiri ini adalah tempat di mana pernikahan umumnya jatuh begitu “bulan madu berakhir.” Daripada setiap pasangan memusatkan perhatian kepada bagaimana kebutuhannya tidak dipenuhi, seharusnya dia tetap memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan pasangannya.

Seindah apapun bagi dua orang yang hidup bersama memenuhi kebutuhan satu sama lain, Allah memiliki panggilan yang lebih tinggi untuk pernikahan. Sama seperti mereka melayani Kristus dengan kehidupan mereka sebelum pernikahan (Roma 12:1-2), sekarang mereka melayani Kristus bersama sebagai satu unit dan membesarkan anak-anak mereka untuk melayani Allah (1 Korintus 7:29-34; Maleakhi 2:15; Efesus 6:4). Priskila dan Akwila, dalam Kisah 18, akan menjadi contoh yang baik untuk hal ini. Sebagai pasangan yang melayani Kristus bersama, sukacita yang Roh Kudus berikan akan memenuhi pernikahan mereka (Galatia 5:22-23). Di Taman Eden, ada tiga kehadiran (Adam, Hawa, dan Allah), dan ada sukacita. Jadi, jika Allah adalah pusat dari suatu pernikahan hari ini, akan ada sukacita. Tanpa Allah, kesatuan yang sejati dan sempurna adalah mustahil adanya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar